Bojonegoro, Lingkaralam.com — Praktik pencairan anggaran proyek fisik yang belum selesai kembali menjadi sorotan. Di lapangan, pekerjaan masih tertinggal dan mutu belum teruji. Namun secara administratif, anggaran justru disiapkan untuk dicairkan seratus persen. Kondisi ini dinilai bukan sekadar ironi akhir tahun anggaran, melainkan bentuk kejahatan administrasi yang dilegalkan melalui mekanisme birokrasi.
Fakta tersebut menunjukkan adanya jurang lebar antara laporan di atas kertas dan kondisi riil proyek. Negara berpotensi membayar penuh pekerjaan yang secara fisik belum diterima, sementara publik dipaksa percaya pada angka serapan anggaran, bukan pada kenyataan di lapangan.
Dalam praktiknya, progres dokumen kerap mengalahkan progres fisik. Selama berita acara ditandatangani dan para pihak sepakat “mengamankan administrasi”, pencairan anggaran dapat dilakukan, meski pekerjaan belum tuntas dan hasilnya belum layak dinyatakan selesai.
Kondisi ini dinilai bukan kesalahan teknis semata. Sejumlah pengamat menilai praktik tersebut merupakan penabrakan aturan yang dilakukan secara sadar, sistematis, dan berjamaah.
Secara regulasi, Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara mewajibkan pengelolaan keuangan negara dilakukan secara tertib, taat hukum, efisien, dan bertanggung jawab. Pembayaran atas pekerjaan yang belum selesai jelas bertentangan dengan prinsip tersebut.
Hal serupa ditegaskan dalam UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, yang mengharuskan setiap pengeluaran negara didukung bukti sah yang mencerminkan kondisi riil. Berita acara yang tidak sesuai fakta lapangan dinilai sah secara administratif, tetapi cacat secara substansi.
Sementara itu, Perpres Nomor 16 Tahun 2018 jo. Perpres Nomor 12 Tahun 2021 menekankan bahwa pengadaan barang dan jasa pemerintah harus akuntabel serta berbasis prestasi pekerjaan. Pembayaran penuh tanpa capaian fisik nyata merupakan pelanggaran langsung terhadap prinsip pengadaan.
Dalam kontrak pengadaan, termasuk SPMK serta Syarat Umum dan Syarat Khusus Kontrak, pembayaran hanya dibenarkan berdasarkan progres fisik riil. Jika progres belum tercapai namun pembayaran dilakukan penuh, maka kondisi tersebut merupakan wanprestasi yang justru difasilitasi oleh penyelenggara negara.
Lebih jauh, UU Tipikor Nomor 31 Tahun 1999 jo. UU Nomor 20 Tahun 2001 menegaskan bahwa penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara tetap merupakan tindak pidana korupsi, meskipun dilakukan melalui prosedur administrasi yang tampak sah. Pembayaran mendahului pekerjaan yang berpotensi menimbulkan kerugian negara dinilai telah memenuhi unsur pidana secara formil.
Serapan anggaran 100 persen dengan pekerjaan yang belum selesai bukanlah prestasi kinerja, melainkan rekayasa angka. Hukum direduksi menjadi formalitas, pengawasan dipersempit menjadi sekadar stempel, dan tanggung jawab dikaburkan di balik tanda tangan kolektif.
Dalam situasi ini, Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) didorong tidak hanya mengandalkan audit dokumen, tetapi melakukan audit investigatif berbasis pemeriksaan fisik di lapangan untuk menilai kesesuaian pembayaran dengan prestasi pekerjaan serta potensi kerugian negara.
Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) juga dinilai tidak cukup hanya menjalankan fungsi pembinaan. Ketika indikasi pelanggaran regulasi dan wanprestasi kontrak terbuka lebar, audit kepatuhan dan audit kinerja harus dilakukan secara independen, objektif, dan transparan.
Selain itu, Aparat Penegak Hukum (APH), baik Kejaksaan maupun Kepolisian, disebut memiliki dasar hukum yang cukup untuk masuk sejak dini. Penelusuran terhadap proses pencairan anggaran, peran para penandatangan berita acara, hingga potensi penyalahgunaan kewenangan menjadi langkah krusial untuk mencegah kerugian negara yang lebih besar.
Pembiaran terhadap praktik semacam ini dikhawatirkan akan melanggengkan budaya “habiskan anggaran, urusan belakangan”, di mana hukum hanya dijadikan aksesoris dan pengawasan direduksi menjadi formalitas.
Kini persoalannya bukan lagi apakah aturan dilanggar, karena pelanggaran tersebut dinilai nyata dan berlapis. Pertanyaan sesungguhnya adalah, siapa yang berani bertanggung jawab, dan siapa yang kembali bersembunyi di balik administrasi.



