Tuban, Lingkaralam.com – Pupuk subsidi yang dijual secara ilegal terjadi di Desa Ngarum, Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban, Jawa Timur. Dugaan tersebut didasari tak adanya izin resmi sebagai pengecer atau penjual pupuk subsidi dengan jenis UREA dan NPK (Phonska).
Demi meraup keuntungan, pupuk subsidi dijual di atas harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Berdasarkan keterangan masyarakat, pupuk bersubsidi tersebut dijual dengan harga berkisar antara Rp 200.000/50 kg untuk jenis Urea dan Rp 210.000/50 kg untuk jenis phonska.
Sementara itu, sesuai dengan aturan, pupuk subsidi seharusnya dijual dengan harga HET Rp 2.250/kg untuk jenis urea atau Rp 112.500/50 kg. Sedangkan jenis NPK Rp 2.300/kg atau Rp Rp 115.000/50 kg.
Modus operandinya magia pupuk tersebut dengan mendatangkan pupuk bersubsidi yang dimuat truk. Ada sekitar 2 hingga 3 truk sekali pengiriman. Pengiriman disiasati tengah malam saat suasana lingkungan telah sepi. Hal ini agar tidak menimbulkan kecurigaan warga sekitar.
“Setiap kali pupuk datang dimuat 2 hingga 3 truk, tinggal banyaknya pesanan. Truk datang ke rumahnya menunggu tengah malam tiba saat suasana lingkungan sepi,”kata warga sekitar yang meminta namanya tidak dipublikasikan, Selasa (28/1/2025).
Dia menyebutkan, setiap kali datang, pupuk sebagian dikirim langsung ke pemesan dan sebagian ditimbun di rumah untuk dikirim lain waktu.
“Sebagian pupuk langsung diantarkan ke pemesan saat proses bongkar muat pupuk. Sementara sebagian lainnya ditimbun dan di kirim kepada pemesan besuknya. Informasinya, pupuk tersebut didatangkan dari luar daerah,” katanya.
“Kita berharap polisi segera melakukan tindakan tegas kepada mafia pupuk bersubsidi tersebut, kasihan petani,” imbuh dia.
Informasi dari warga sekitar juga menyebutkan, adakalanya mereka juga membeli pupuk bersubsidi di kios sekitaran Kecamatan Grabagan, selanjutnya dijual lagi dengan harga di atas HET.
Seperti diketahui, para pelaku penyalahgunaan pupuk bersubsidi bisa dijerat dengan pasal berlapis, antara lain pasal 30 ayat 2, pasal 108, dan pasal 110 Undang-Undang (UU) Nomor 7 tahun 2014, dengan ancaman pidana penjara paling lama 4 sampai 5 tahun dan denda Rp10 miliar.
Oleh : M. Zainuddin