Selasa, Desember 30, 2025
spot_img

Pasifnya Pemerintah Bojonegoro pada Batching Plant Tak Berizin Dinilai Melemahkan Regulasi (Jilid 9)

Bojonegoro, Lingkaralam.com — Sikap Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terhadap keberadaan batching plant yang diduga belum mengantongi izin lengkap kembali menuai sorotan publik.

Meski regulasi secara tegas mengatur bahwa usaha berisiko tinggi dilarang beroperasi sebelum seluruh izin terpenuhi, hingga kini penindakan nyata dinilai pasif dan lamban, memunculkan pertanyaan serius terkait efektivitas pengawasan dan penegakan hukum di daerah.

Sejumlah laporan masyarakat serta pemberitaan beruntun menunjukkan bahwa aktivitas batching plant tanpa izin, termasuk yang berlokasi di Desa Sumengko, masih berlangsung. Kondisi ini memicu persepsi publik bahwa regulasi tidak “bertaji” dan berpotensi diterapkan secara tidak konsisten, terutama jika dibandingkan dengan penindakan tegas yang pernah dilakukan Pemkab Bojonegoro terhadap pelaku usaha lain.

Dari perspektif regulasi, batching plant termasuk kegiatan usaha berisiko tinggi sebagaimana diatur dalam PP Nomor 5 Tahun 2021 tentang Perizinan Berusaha Berbasis Risiko (beserta perubahannya).

Untuk kategori ini, pelaku usaha wajib memiliki Nomor Induk Berusaha (NIB) dan Izin yang telah diverifikasi, termasuk pemenuhan standar teknis seperti Persetujuan Bangunan Gedung (PBG), Sertifikat Laik Fungsi (SLF), serta izin lingkungan (AMDAL atau UKL-UPL). Tanpa kelengkapan tersebut, kegiatan operasional secara hukum tidak diperkenankan.

Lemahnya penindakan terhadap perusahaan yang belum berizin mengindikasikan adanya kelemahan dalam sistem pengawasan, baik dari sisi birokrasi maupun koordinasi lintas instansi.

Beberpa pengamat kebijakan publik sudah banyak yang menilai kondisi ini dapat dipicu oleh prosedur yang kurang efektif, keterbatasan sumber daya pengawas, hingga perbedaan prioritas kebijakan yang lebih menitikberatkan pertumbuhan ekonomi jangka pendek dibanding kepatuhan hukum.

Padahal, pembiaran usaha ilegal memiliki konsekuensi serius. Selain risiko hukum dan operasional, seperti potensi kecelakaan kerja dan dampak lingkungan, praktik ini juga menciptakan ketidakadilan persaingan usaha.

Perusahaan yang tidak berizin cenderung memiliki biaya operasional lebih rendah karena menghindari kewajiban regulasi, sehingga merugikan pelaku usaha lain yang taat aturan. Lebih jauh, daerah juga berpotensi mengalami kerugian fiskal akibat hilangnya pajak dan retribusi yang seharusnya menjadi pendapatan asli daerah.

Dalam konteks ini, publik menaruh perhatian pada peran DPRD Bojonegoro, APIP (Aparat Pengawas Intern Pemerintah), serta penegak hukum untuk menjalankan fungsi pengawasan secara optimal. DPRD memiliki mandat pengawasan kebijakan dan pelaksanaan pemerintahan, sementara APIP bertugas memastikan tata kelola berjalan sesuai aturan dan bebas dari penyimpangan.

Ketika dugaan pelanggaran perizinan dibiarkan berlarut, maka fungsi-fungsi pengawasan tersebut ikut dipertanyakan.

Ketimpangan penindakan juga menjadi catatan publik. Sebelumnya, Pemkab Bojonegoro menunjukkan sikap tegas terhadap PT Sata Tec Indonesia di Desa Sukowati, Kecamatan Kapas. DPRD menggelar beberapa kali hearing dan meminta operasional dihentikan sementara hingga izin lingkungan dipenuhi.

Wakil Bupati Bojonegoro bahkan turun langsung melakukan inspeksi mendadak. Namun, pendekatan serupa hingga kini belum terlihat diterapkan terhadap batching plant yang tengah disorot masyarakat.

Sorotan tersebut kini diperkuat oleh langkah LSM Ngulik Sura Tata Nusantara. Lembaga ini disebut tengah mengumpulkan data dan dokumen pendukung terkait dugaan operasional batching plant tanpa izin lengkap di Bojonegoro.

LSM tersebut menyatakan akan mendorong eskalasi pengawasan ke tingkat pusat, termasuk menyampaikan laporan kepada kementerian teknis dan lembaga pengawas nasional, apabila tidak terdapat langkah penegakan hukum yang tegas dari pemerintah daerah.

Ketua LSM Ngulik Sura Tata Nusantara, M. Setyo menilai pembiaran terhadap usaha berisiko tinggi yang belum mengantongi izin lengkap berpotensi mencederai prinsip kepastian hukum, keadilan usaha, serta tata kelola pemerintahan yang baik.

“Regulasi perizinan sudah jelas, sehingga yang dibutuhkan saat ini adalah keberanian dan konsistensi aparat pemerintah dalam menegakkan aturan tanpa pandang bulu,” kata M. Setyo, Minggu (29/12/2025).

Situasi ini memunculkan kekhawatiran akan ketidakpastian hukum yang dapat merusak kepercayaan masyarakat dan investor.

Dunia usaha membutuhkan kepastian bahwa aturan ditegakkan secara adil dan konsisten. Tanpa itu, iklim investasi justru berisiko terganggu, bukan karena ketegasan pemerintah, melainkan akibat pembiaran yang menciptakan standar kepatuhan yang kabur.

Oleh M. Zainuddin

Baca juga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Terkini

error: Konten diproteksi!