Bojonegoro, Lingkaralam.com – Para pengusaha jasa konstruksi di Bojonegoro banyak yang mengeluh karena tidak mendapatkan pekerjaan proyek pemerintah. Mereka kecewa dengan mekanisme sistem Penunjukan Langsung (PL) maupun proses lelang yang cenderung rumit dan sulit.
Menurut mereka, dengan nilai APBD Bojonegoro yang jumlahnya fantastis mencapai Rp 7,9 triliun, tak seharusnya bernasib seperti ini.
“Periode ini menjadi yang terberat diantara periode-periode sebelumnya. Kalau sebelumnya kita masih dapat, meskipun hanya satu paket PL, tapi saat ini semua serba gelap. Peteng dedet Mas (Gelap gulita Mas),” kata salah seorang kontraktor lokal Bojonegoro yang namanya enggan dipublikasikan.
“APBD kita nilainya begitu fantastis. Paket PL juga begitu banyak. Tapi paket-paket tersebut seolah lenyap begitu saja.Terkadang itu yang selalu jadi pertanyaan saya dan kawan-kawan,” kata dia.
Menurutnya, seharusnya ada penjelasan detail dari Pemkab Bojonegoro mengenai persoalan ini. Hal seperti ini seharusnya tidak terjadi di bumi yang mempunyai finansial kaya raya seperti Bojonegoro ini.
“Kita berharap ada penjelasan resmi dari Pemkab Bojonegoro, terkait sebab banyak paket PL yang seolah lenyap di telan bumi,” kata ia mengibaratkan situasi yang banyak dihadapi rekan sejawatnya.
“Kalaupun kita tidak dapat pekerjaan, apa alasannya. Tahun ini seolah menjadi tahun tersulit dan terberat selama kita menjadi rekanan kontraktor. Sangat aneh jika kita menengok besaran APBD kita yang nilainya terbesar di antara Kabupaten lain di Indonesia,” katanya.
Dirinya juga mengeluhkan proses lelang dengan segenap persyaratan yang menurutnya begitu rumit dan sulit. Banyak dari sejawatnya yang saat ini mulai pesimis dengan kondisi pemerintahan saat ini.
“Persyaratan lelang episode ini paling rumit dan paling sulit diantara lelang-lelang episode sebelumnya. Apalagi sebelumnya seolah tidak ada sosialisasi terkait adanya perubahan signifikan terkait persyaratan lelang. Yang sebelumnya sudah siaplah yang akhirnya bisa mengikuti proses lelang, terutama terkait dukungan,” katanya sembari menyeka keringat di wajahnya.
“Mungkin sementara ini, harus berpikir alternatif lain dalam menjalankan usaha sebagai upaya menghidupi keluarga Mas. Nanti saja kalau Bojonegoro sudah kondusif dan tata kelola jasa konstruksinya sudah agak baik seperti sebelum-sebelumnya, baru kita berpikir untuk eksis lagi,” katanya dengan guratan wajah pesimis.
Saat disarankan untuk mengeluhkan persoalan ini ke DPRD atau Bupati Bojonegoro, dirinya hanya tersenyum sembari menghela nafas panjang.
“Nggak Mas, paling hasilnya ya percuma. Tidak menutup kemungkinan malah akan membuat kami semakin kecewa. Kawan-kawan juga tidak ada rencana ke arah itu,” katanya sembari bergegas membayar kopi.
Oleh : M. Zainuddin.