Oleh : Nina Agustin
Perubahan regulasi Bantuan Keuangan Khusus kepada Desa (BKKD) di Kabupaten Bojonegoro dari tahun 2023 ke 2025 digadang-gadang sebagai upaya memperkuat akuntabilitas dan kepastian hukum.
Namun, di balik pengetatan aturan tersebut, hasil penelusuran menunjukkan bahwa persoalan mendasar BKKD justru belum tersentuh secara serius. Lemahnya pengawasan substantif di lapangan masih menjadi pekerjaan rumah Pemerintah Kabupaten Bojonegoro di tengah anggaran yang terus membesar.
Pada 2025, total alokasi BKKD Kabupaten Bojonegoro mencapai sekitar Rp 800 miliar. Anggaran jumbo ini menjadikan BKKD sebagai salah satu instrumen fiskal desa terbesar di tingkat kabupaten.
Ironisnya, besarnya dana tersebut belum sepenuhnya diimbangi dengan sistem pengawasan teknis yang kuat dan konsisten di lapangan.
Indikasi paling nyata adalah masih banyaknya pekerjaan fisik BKKD yang tidak sesuai spesifikasi teknis, dengan bentuk kesalahan yang beragam, mulai dari mutu material yang kurang memenuhi standar, volume pekerjaan yang menyusut, hingga metode pelaksanaan yang menyimpang dari rencana.
Variasi temuan ini menunjukkan bahwa persoalan bukan bersifat insidental, melainkan mencerminkan kelemahan sistemik dalam pengawasan dan pengendalian mutu.
Regulasi terbaru melalui Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 13 Tahun 2024 membatasi desa hanya dapat mengajukan satu jenis BKKD dalam satu tahun anggaran. Kebijakan ini diklaim untuk meningkatkan fokus dan efisiensi pelaksanaan. Namun, pembatasan administratif tersebut belum menjawab kekhawatiran utama terkait mutu pelaksanaan fisik di lapangan.
Hasil penelusuran awal menunjukkan bahwa baik pada skema lama (2023) maupun skema baru (2025), pekerjaan fisik yang tidak sesuai spesifikasi teknis masih banyak dijumpai. Kekhawatiran hasil infrastruktur berpotensi akan cepat rusak meski baru selesai dikerjakan menjadi momok yang menggelayut di benak masyarakat. Kondisi ini mengindikasikan bahwa pengawasan lebih banyak berhenti pada aspek administrasi, bukan pada kualitas pekerjaan fisik.
Persoalan pengawasan semakin kompleks karena pola pelaksanaan proyek BKKD yang kerap dilakukan di penghujung tahun anggaran. Tekanan serapan anggaran membuat banyak pekerjaan fisik dikebut dalam waktu singkat. Dalam kondisi tersebut, ruang pengawasan teknis dan koreksi menjadi sangat terbatas, sementara risiko penurunan kualitas justru meningkat.
Masalah lain yang turut disorot adalah tata kelola pengadaan barang dan jasa di desa, khususnya terkait penetapan harga. Sebagai rujukan, Peraturan Kepala Daerah tentang Standar Biaya Umum (SBU) pada prinsipnya tidak berlaku dan tidak mengikat secara langsung terhadap APBDesa, karena APBDesa dikelola secara otonom dan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan tentang desa.
SBU hanya dapat digunakan sebagai referensi kewajaran harga, sepanjang relevan dan disesuaikan dengan kondisi serta harga pasar setempat.
Ketentuan tersebut sejalan dengan Peraturan Bupati Bojonegoro Nomor 11 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa di Desa, yang menegaskan bahwa pelaksanaan PBJ Desa wajib menggunakan harga pasar yang wajar, yaitu harga yang berlaku di desa setempat atau desa sekitar, serta didukung hasil survei atau informasi harga yang dapat dipertanggungjawabkan.
Penetapan harga harus dilakukan secara rasional, sesuai spesifikasi barang atau jasa, dan tidak merugikan atau memberatkan APBDesa.
Dalam regulasi itu juga ditegaskan bahwa metode pengadaan ditentukan berdasarkan nilai pengadaan, mulai dari pembelian langsung dengan negosiasi harga untuk nilai kecil, hingga permintaan penawaran dari beberapa penyedia untuk nilai yang lebih besar guna memastikan perbandingan harga dan kualitas.
Pada dasarnya, prinsip utama PBJ Desa adalah efisien, efektif, transparan, akuntabel, adil, serta mengutamakan pemberdayaan masyarakat dan penyedia lokal.
Namun di lapangan, kecenderungan penggunaan SBU tanpa penyesuaian konteks desa dinilai berpotensi menimbulkan distorsi anggaran.
Penerapan tersebut dapat menyebabkan kenaikan harga material, seperti beton dan bahan bangunan lainnya yang tidak mencerminkan harga riil desa, sekaligus penurunan nilai upah tenaga kerja (HOK).
Akibatnya, manfaat ekonomi yang seharusnya dirasakan masyarakat melalui skema padat karya menjadi berkurang.
“Secara administrasi terlihat aman, tetapi di lapangan tidak realistis. Harga material bisa terlalu tinggi, sementara upah warga ditekan. Ini terkesan menyimpang dari semangat pemberdayaan desa,” kata ayah yang masih setia dengan kepulan asap rokoknya, sembari ditemani sisa kopi di dalam cangkir sore itu.
Padahal, Pemerintah Kabupaten Bojonegoro telah membentuk tim mitigasi untuk mendampingi pelaksanaan BKKD. Namun, berdasarkan temuan awal, peran tim ini dinilai belum optimal dalam mencegah persoalan teknis sejak awal pelaksanaan pekerjaan.
Kehadiran tim mitigasi cenderung lebih kuat pada aspek kehati-hatian hukum, bukan pada pengendalian mutu fisik secara langsung.
Pada akhirnya, perubahan regulasi dinilai belum menyentuh akar persoalan. Tanpa penguatan pengawasan teknis di lapangan, seketat apa pun aturan yang dibuat berpotensi tidak menghasilkan perbaikan nyata bagi masyarakat desa.
“Anggaran yang besar, pengawasan yang cenderung lemah, serta potensi distorsi dalam tata kelola pengadaan, BKKD dinilai rawan membuka celah penyimpangan, termasuk risiko korupsi,” sela ayah yang mengaku mantan wartawan Bodrex ini.
Minimnya transparansi dalam perencanaan dan pelaksanaan juga menyulitkan masyarakat untuk ikut mengawasi penggunaan dana secara efektif.
Khazanah yang terjadi saat ini dalam realisasi BKKD Bojonegoro bisa menjadi pintu masuk untuk menelusuri lebih jauh efektivitas pelaksanaan anggaran tersebut, Apakah perubahan regulasi benar-benar membawa perbaikan nyata, atau justru menyisakan persoalan lama dengan wajah baru, atau bahkan berpotensi lebih bermasalah.



