Tuban, Lingkaralam.com – Kasus dugaan pencurian gabah yang dilaporkan oleh Mbah Wajidan (58), warga Desa Magersari, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, hingga kini belum menunjukkan perkembangan berarti.
Laporan tersebut secara resmi diterima dan diterbitkan pada 9 Oktober 2025 oleh Kepolisian Resor Tuban, namun hingga saat ini belum ada tindak lanjut yang jelas dari aparat penegak hukum.
Mbah Wajidan menyenutkan bahwa gabah yang diambil tersebut bukan milik Himpunan Petani Pemakai Air (Hippa), melainkan merupakan komisi atau bentuk pembayaran dari para petani saat dirinya masih menjabat dan mengelola Hippa, sebelum pengelolaannya diambil alih oleh pihak desa.
Menurut Mbah Wajidan, gabah tersebut memang belum sempat diambil karena masih berada di lokasi penimbangan hasil panen.
Namun, setelah terjadi pergantian kepengurusan Hippa, pengurus Hippa yang baru tetap mengambil gabah tersebut, meskipun ia merasa gabah itu merupakan hak pribadinya.
“Gabah tersebut sebenarnya merupakan hak saya. Namun tetap diambil oleh pengurus Hippa yang baru,” ujar Mbah Wajidan.
Merasa dirugikan dan merasa tidak ada itikad baik, Mbah Wajidan akhirnya melaporkan peristiwa tersebut ke Polres Tuban dengan dugaan tindak pidana pencurian dengan pemberatan sebagaimana diatur dalam Pasal 363 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).
Akibat kejadian tersebut, Mbah Wajidan mengaku mengalami kerugian berupa 12 karung gabah dengan total berat sekitar 597 kilogram, atau senilai kurang lebih Rp4,4 juta.
Hal ini sebagaimana tercantum dalam Surat Tandaubah Tanda Terima Laporan/Pengaduan Masyarakat (STTLP) yang diterbitkan Polres Tuban.
Namun demikian, hingga kini belum ada kejelasan terkait perkembangan penanganan laporan tersebut. Kondisi ini menimbulkan kekecewaan dari pihak pelapor yang berharap adanya kepastian hukum atas peristiwa yang dialaminya.
“Semoga segera ada tindak lanjut perkara ini dari Polres Tuban,” harap Mbah Wajidan.
Sebelumnya diketahui, bahwa kisah Mbah Wajidan, perintis HIPPA HMJ di Desa Magersari, Tuban, menggambarkan ironi pembangunan desa yang justru mengorbankan masyarakat kecil.
Di usia senja, ia harus bekerja sebagai buruh setelah usaha HIPPA yang dibangunnya dengan jerih payah dan hutang bank diambil alih pemerintah desa tanpa penjelasan jelas, sementara HIPPA lain tetap dikelola mandiri.
Peristiwa ini memunculkan pertanyaan tentang keadilan, keberpihakan pemerintah desa, serta harapan akan dialog dan penyelesaian yang manusiawi bagi warga kecil seperti mbah Wajidan.
Oleh M. Zainuddin



