Senin, Desember 15, 2025
spot_img

Kisah Wajidan ; Ketika Masyarakat Kecil Terpinggirkan, Dimana Peran Kemanusiaan Pemerintah Desa? (Jilid 2)

Tuban, Lingkaralam.com – Kisah pilu yang dialami Wajidan, perintis Hippa HMJ (HIPPA Muslim Jidan) di Desa Magersari, Kecamatan Plumpang, Kabupaten Tuban, kembali membuka ruang pertanyaan besar tentang keberpihakan pemerintah desa terhadap masyarakat kecil.

Di usia senjanya, Wajidan kini harus bertahan hidup sebagai buruh mencangkul dan buruh mentraktor sawah demi mencukupi kebutuhan anak istrinya. Ironisnya, ia menjalani hidup serba kekurangan justru setelah Hippa yang ia bangun dengan jerih payah, pengorbanan, dan hutang bank itu diambil alih oleh pemerintah desa.

Yang lebih memprihatinkan, di Desa Magersari sejatinya terdapat beberapa HIPPA mandiri lainnya. Namun hingga kini, hanya HIPPA milik Wajidan yang diakuisisi oleh pemerintah desa.

Tidak ada penjelasan yang jelas mengapa hanya HIPPA milik seorang warga kecil ini yang diambil alih, sementara HIPPA mandiri lainnya tetap dikelola oleh pemiliknya masing-masing.

Fakta ini menimbulkan tanda tanya besar di tengah masyarakat. Apakah ada standar yang berbeda? Ataukah masyarakat kecil memang lebih mudah ditekan dan dikorbankan?

Seorang tokoh masyarakat di Kecamatan Plumpang yang enggan disebutkan namanya menilai, sikap pemerintah desa dalam persoalan ini tidak mencerminkan prinsip keadilan sosial.

Menurutnya, pemerintah desa sejatinya hadir untuk memberdayakan masyarakat, menjaga ketertiban, serta mengurus kepentingan umum agar warga desa dapat hidup lebih baik, mandiri, dan partisipatif.

“Pemerintah desa seharusnya melindungi dan menguatkan warganya, bukan justru mengambil alih usaha yang dirintis masyarakat kecil tanpa kejelasan dan keadilan,” ujarnya.

Ia menegaskan, kebijakan yang tidak berangkat dari nilai kemanusiaan berpotensi melukai rasa kepercayaan publik terhadap pemerintahan desa.

“Terlebih, ketika yang menjadi korban adalah warga lanjut usia yang masih menanggung beban hutang dari usaha yang kini sudah tidak lagi ia nikmati hasilnya,” imbuh ia.

Hingga saat ini, Wajidan masih berharap ada itikad baik dari pemerintah desa untuk membuka ruang dialog dan penyelesaian yang adil. Ia tidak menuntut lebih, selain pengakuan atas jerih payahnya dan perlakuan yang manusiawi.

Kisah ini menjadi pengingat bahwa pembangunan desa tidak boleh mengorbankan masyarakat kecil. Sebab, esensi pemerintahan adalah melayani, melindungi, dan menegakkan keadilan, bukan menunjukkan kuasa secara sepihak.

Masyarakat kini menanti, apakah suara kecil seperti Wajidan masih memiliki tempat untuk didengar, ataukah akan terus tenggelam di tengah kebijakan yang abai terhadap nilai kemanusiaan.

Oleh M. Zainuddin

Baca juga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Terkini

error: Konten diproteksi!