Tuban, Lingkaralam.com – Kelangkaan pupuk bersubsidi di Kabupaten Tuban bukan sekadar persoalan teknis distribusi. Penelusuran di lapangan mengungkap indikasi kuat adanya praktik terstruktur dan sistematis jaringan mafia pupuk yang diduga sengaja merekayasa kelangkaan demi meraup keuntungan besar, sementara petani dipaksa membeli pupuk dengan harga mencekik.
Fenomena ini terjadi berulang setiap musim tanam. Di kios resmi, pupuk bersubsidi kerap dinyatakan habis. Namun ironisnya, pada waktu yang sama, pupuk dengan merek dan kemasan identik justru mudah ditemukan melalui jalur tidak resmi dengan harga mencapai dua kali lipat dari Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan pemerintah.
Pola ini memunculkan dugaan kuat bahwa kelangkaan pupuk bukan kondisi alamiah, melainkan hasil permainan mafia yang disengaja.
Di wilayah Kecamatan Soko dan Kecamatan Grabagan, Kabupaten Tuban keluhan petani hampir seragam. Mereka mengaku terpaksa membeli pupuk bersubsidi di luar kios resmi karena kebutuhan mendesak tanaman.
“Kami tahu itu pupuk subsidi, tapi harganya Rp200 ribu per sak. Kalau tidak beli, tanaman tidak bisa dipupuk. Mau bagaimana lagi?” kata Ali, petani Desa Jegulo, Kecamatan Soko, kepada Lingkaralam.com.
Harga tersebut jauh melampaui HET pupuk bersubsidi yang berkisar Rp 90 ribu per sak ukuran 50 kilogram. Selisih harga inilah yang diduga menjadi sumber keuntungan jaringan mafia pupuk, dengan nilai yang tidak kecil jika dihitung secara akumulatif lintas wilayah dan musim tanam.
Hasil penelusuran media ini menemukan indikasi bahwa pupuk bersubsidi yang beredar di luar jalur resmi di Tuban diduga berasal dari luar daerah, seperti Madura dan sebagian wilayah Jawa Tengah. Pupuk tersebut disinyalir dialihkan dari wilayah asalnya, kemudian masuk ke Tuban melalui jalur gelap sebelum dijual kembali kepada petani dengan harga tinggi.
Skema ini mengindikasikan adanya jaringan lintas daerah yang terorganisir, melibatkan lebih dari satu mata rantai distribusi, serta memanfaatkan lemahnya pengawasan di tingkat bawah.
Praktik ini bukan hanya menindas petani kecil, tetapi juga berpotensi merugikan keuangan negara. Subsidi pupuk yang bersumber dari APBN sejatinya ditujukan untuk menekan biaya produksi pertanian dan menjaga ketahanan pangan. Namun dalam praktiknya, subsidi tersebut justru diduga diselewengkan menjadi komoditas bisnis ilegal oleh segelintir pihak.
Jika dibiarkan, kondisi ini bukan hanya mengancam kesejahteraan petani, tetapi juga berisiko mengganggu produktivitas pertanian dan ketahanan pangan nasional.
Secara nasional, aparat penegak hukum telah menegaskan komitmennya. Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo secara terbuka memerintahkan jajarannya untuk tidak ragu membongkar praktik mafia, termasuk aktor intelektual dan pihak yang membekingi kejahatan tersebut.
“Sebagaimana program Presisi, proses penegakan hukum harus diusut tuntas tanpa pandang bulu,” tegas Kapolri.
Jaksa Agung ST Burhanuddin juga mengeluarkan instruksi tegas kepada jajaran kejaksaan agar melakukan operasi intelijen untuk menelusuri dan menindak mafia pupuk bersubsidi.
“Telusuri dan identifikasi praktik-praktik curang pupuk bersubsidi. Cermati setiap proses distribusinya dan segera tindak pihak-pihak yang mencoba bermain,” ujar Jaksa Agung.
Namun, di Tuban, perintah keras dari pusat tersebut dinilai belum sepenuhnya terimplementasi di lapangan. Hingga kini, keluhan petani masih terus bermunculan, sementara penindakan hukum terhadap dugaan mafia pupuk belum terlihat signifikan.
Masyarakat berharap aparat penegak hukum di daerah tidak hanya berhenti pada pengawasan administratif, tetapi berani membongkar aktor-aktor di balik permainan distribusi pupuk bersubsidi.
“Kalau hukum ditegakkan serius, mafia pupuk tidak akan berani bermain. Yang kami minta hanya pupuk sesuai hak kami sebagai petani,” ujar seorang warga yang enggan disebutkan namanya.
Kini, sorotan publik mengarah pada aparat penegak hukum di Tuban. Apakah mereka akan menerjemahkan perintah tegas dari pusat menjadi langkah konkret dan transparan, atau justru membiarkan praktik mafia pupuk terus menggerogoti hak petani dan merusak tujuan subsidi negara secara sistematis.(Tim/La).



