Oleh : Redaksi
Blora – Polemik penggunaan material non-Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam proyek drainase Ngraho–Ketuwan, Kecamatan Kedungtuban, Kabupaten Blora, menjadi ujian bagi transparansi birokrasi teknis di daerah.
Masalah ini bukan semata urusan teknis lapangan, melainkan menyentuh jantung tata kelola pemerintahan yang akuntabel: apakah proyek pemerintah boleh menggunakan material yang tidak memenuhi standar nasional?
Dalam pernyataan publiknya, Bupati Blora Arief Rohman sudah menyatakan bahwa aspek teknis menjadi domain Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR). Artinya, beban klarifikasi kini sepenuhnya berada di pundak Plt Kepala Dinas PUPR Nidzamudin Al Hudda, ST, pejabat yang seharusnya paling memahami konsekuensi teknis dan regulatif dari setiap keputusan di lapangan.
Sayangnya, hingga kini tidak ada pernyataan resmi yang menjelaskan dasar hukum penggunaan buis beton non-SNI dalam proyek yang dibiayai dari APBD 2025.
Sikap diam ini bukan sekadar keterlambatan komunikasi, tetapi dapat dimaknai sebagai pengabaian tanggung jawab publik.
Bukan Soal Beton, Tapi Kepatuhan pada Aturan
Setiap pejabat teknis pasti memahami bahwa penerapan SNI bukan hanya simbol formalitas. SNI adalah jaminan mutu, keselamatan, dan efisiensi anggaran publik.
Ketika material yang digunakan tidak tersertifikasi, pertanyaannya sederhana: siapa yang menjamin kualitasnya?
Dan jika kemudian terjadi kerusakan, siapa yang akan bertanggung jawab atas uang rakyat yang sudah dibelanjakan?
Aturan mengenai hal ini pun sangat jelas.
UU Nomor 20 Tahun 2014, PP Nomor 34 Tahun 2018, hingga Permen PUPR Nomor 27 Tahun 2018 secara tegas mengatur bahwa setiap material konstruksi dalam proyek pemerintah wajib memenuhi standar SNI. Tidak ada ruang abu-abu.
Apalagi jika proyek tersebut dibiayai oleh uang daerah.
Karena itu, alasan “pemberdayaan home industry” tidak bisa dijadikan tameng untuk mengabaikan standar nasional. Pemberdayaan ekonomi lokal sah dan penting, namun tidak boleh dilakukan dengan mengorbankan kepatuhan terhadap hukum.
Diam Bukan Solusi, Justru Menciptakan Ketidakpercayaan
Dalam sistem pemerintahan terbuka, pejabat publik tidak memiliki hak istimewa untuk diam. Masyarakat berhak tahu bagaimana uang mereka dibelanjakan dan sejauh mana standar teknis ditaati.
Sikap tertutup hanya mempertegas dugaan adanya kelalaian administratif atau lemahnya pengawasan internal.
Padahal, penjelasan terbuka justru akan memperbaiki citra dinas teknis.
Jika memang ada dasar hukum tertentu yang memperbolehkan penggunaan material non-SNI dalam kondisi tertentu, bisa sampaikan secara resmi dan transparan.
Sebaliknya, jika tidak ada dasar hukum yang jelas, maka seharusnya diakui sebagai kekeliruan administratif agar dapat diperbaiki.
Akuntabilitas Harus Dimulai dari Teknis
Kepala dinas teknis bukan sekadar jabatan struktural. Ia adalah penjaga mutu pembangunan daerah. Ketika proyek berjalan tanpa kepatuhan terhadap standar nasional, sesungguhnya yang dipertaruhkan bukan hanya fisik bangunan, tetapi marwah profesionalitas aparatur.
Karena itu, Plt Kepala Dinas PUPR Blora seharusnya segera memberikan penjelasan terbuka dan berbasis regulasi.
Bukan hanya untuk meredakan polemik, tetapi sebagai bentuk penghormatan terhadap prinsip good governance dan pertanggungjawaban anggaran publik.Dalam konteks ini, diam bukan lagi pilihan.
Saat ini yang dibutuhkan publik adalah kejujuran, bukan pembenaran. Karena di balik sebatang buis beton non-SNI, tersimpan pertanyaan besar tentang sejauh mana pemerintah daerah berani menegakkan aturan yang dibuat oleh negara sendiri.
Wassalam



