Tuban, Lingkaralam.com – Proyek Program Percepatan Peningkatan Tata Guna Air Irigasi (P3-TGAI) di Desa Pandanwangi, Kecamatan Soko, Kabupaten Tuban, yang dilaksanakan oleh HIPPA Berdikari di bawah naungan Balai Besar Wilayah Sungai Bengawan Solo (BBWS-BS), menuai kritik dari masyarakat dan pemerhati infrastruktur.
Proyek dengan nilai Rp195 juta bersumber dari APBN Tahun Anggaran 2025 Tahap II tersebut, diduga kuat tidak dilaksanakan sesuai spesifikasi teknis yang ditetapkan oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR).
Pantauan di lapangan menunjukkan bahwa pekerjaan pasangan batu dilakukan di tengah kondisi saluran yang masih tergenang air. Akibatnya, proses pekerjaan tidak sesuai prosedur teknis konstruksi irigasi, yang semestinya dilakukan pada kondisi saluran kering atau dengan aliran air yang sudah dialihkan sementara.
Kondisi air yang menggenang menyebabkan campuran semen dan pasir mudah terlarut sebelum mengeras sempurna, sehingga kualitas daya rekat antar batu menjadi sangat lemah. Selain itu, dasar saluran yang tidak dikeringkan terlebih dahulu berisiko menyebabkan lapisan pondasi menjadi tidak padat, yang dapat mengakibatkan retak, longsor, atau amblas setelah beberapa bulan digunakan.
“Kalau dikerjakan waktu air masih mengalir begini, hasilnya pasti nggak kuat. Adukan cepat larut, belum lagi batunya juga dari bahan yang nggak jelas asal-usulnya,” ujar salah satu warga sekitar yang enggan disebut namanya.
Selain itu, batu yang digunakan tampak berpori diduga berasal dari tambang ilegal, bukan dari sumber material yang memiliki izin. Secara teknis, batu tersebut memiliki daya serap air tinggi sehingga menurunkan kekuatan struktur pasangan batu, terutama untuk pekerjaan irigasi yang terpapar air secara terus-menerus.
Pekerjaan konstruksi harus dilakukan dalam kondisi saluran kering, dengan penggunaan material legal dan pengawasan mutu yang ketat untuk menjamin kekuatan serta keawetan bangunan.
Pemerhati kebijakan publik menilai bahwa lemahnya pengawasan lapangan menjadi penyebab utama terjadinya penyimpangan teknis. Tim teknis BBWS dan pendamping lapangan mestinya memastikan pekerjaan tidak dilakukan dalam genangan air. Kalau spesifikasi dasar seperti itu diabaikan, bangunan pasti cepat rusak dan anggaran publik terbuang,” tegas salah satu pemerhati infrastruktur lokal.
Proyek ini dilaksanakan secara swakelola oleh HIPPA Berdikari, sesuai prinsip pengadaan barang/jasa (BPJ) pemerintah sebagaimana diatur dalam Perpres Nomor 12 Tahun 2021 tentang Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah.
Hingga berita ini diterbitkan, pihak HIPPA Berdikari maupun BBWS Bengawan Solo belum memberikan klarifikasi resmi terkait dugaan penggunaan material batu ilegal dan pelaksanaan pekerjaan di lokasi yang masih tergenang air.
Publik berharap inspeksi teknis dan audit lapangan segera dilakukan oleh instansi berwenang untuk memastikan bahwa dana publik benar-benar digunakan sesuai aturan dan memberikan manfaat nyata bagi petani setempat.(Tim/LA).



