Bojonegoro, Lingkaralam.com – Pemerintah Kabupaten Bojonegoro kembali tampil di panggung penghargaan, menerima Website Terbaik Ketiga dalam ajang Jatim Public Relations Award (JPRA) 2025 di Malang Creative Center, Sabtu (8/11/2025).
Piagam diserahkan di hadapan Menteri Ekonomi Kreatif Teuku Riefky Harsya dan Utusan Khusus Presiden Raffi Ahmad. Di atas panggung, Bojonegoro tampil percaya diri seolah jadi simbol sukses komunikasi publik daerah.
Namun di balik sorotan kamera dan tepuk tangan seremoni itu, kenyataan di lapangan justru gelap. Sebab, transparansi yang diagung – agungkan pemerintah daerah hanya hidup di baliho dan berita seremonial. Tapi mati di portal resmi dan praktik nyata.
Website yang digadang-gadang tersebut jika dibuka seperti papan pengumuman kosong. Tampilan rapi desain menarik, tapi tanpa isi berarti. Data program tak diperbarui, laporan kegiatan minim, dan rincian penggunaan anggaran yang seharusnya menjadi hak publik, justru lenyap di balik halaman login dan alasan klasik “sedang diperbarui.”
Bukan hanya publik, bahkan awak media yang mencoba mengonfirmasi informasi pun sering diperlakukan seperti tamu tak diundang. Pertanyaan soal anggaran hanya dijawab dengan kalimat “Bapak sedang rapat dan harus janjian dulu. Seolah hak rakyat menunggu jadwal pejabat selesai ngopi. Padahal, transparansi bukan hadiah, tapi kewajiban.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dengan jelas mewajibkan setiap badan publik membuka akses seluas-luasnya kepada masyarakat.Tapi di Bojonegoro, keterbukaan masih sering dihalangi dengan birokrasi dan mentalitas menutup diri.
Ironinya, di atas panggung, Bojonegoro menerima penghargaan terbaik. Tapi di dunia nyata, publik masih kesulitan mengakses data, media sulit mendapatkan konfirmasi, dan transparansi hanya menjadi jargon yang dipoles agar terlihat kinclong di depan kamera.
Prestasi di atas kertas itu mungkin layak untuk pajangan, tapi tak bisa menutupi fakta bahwa Bojonegoro masih gelap soal keterbukaan.
Karena sesungguhnya, ukuran keberhasilan bukan piagam atau panggung penghargaan, melainkan sejauh mana rakyat bisa mengawasi pemerintahnya tanpa dihalangi alasan dan basa-basi.
Dan sampai hari ini, Bojonegoro masih gagal menjawab pertanyaan sederhana, jika memang transparan, kenapa data publik masih disembunyikan? (Tim/LA).



