Bojonegoro, Lingkaralam.com – Pemerintah melalui Pertamina, BPH Migas, hingga kini belum pernah mengeluarkan pernyataan resmi ihwal pengurangan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi di seluruh Nusantara.
Namun, ironi lama kembali berulang. Menjelang akhir tahun, antrean panjang kendaraan di Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) di Bojonegoro kembali menjadi pemandangan rutin dengan alasan BBM selalu habis.
Demi mengantisipasi kericuhan akibat kelangkaan. Sejumlah pemerhati kebijakan publik mengatakan hal ini bukanlah kebetulan, namun semua ini pola lama yang terus dibiarkan. Pendistribusian BBM bersubsidi sengaja diperlambat.
Ini bukan soal kelangkaan pasokan, tapi soal pengaturan ritme distribusi. Hampir setiap tahun,” ungkap salah satu sumber internal yang memahami sistem distribusi BBM. Jumat (8/11/2025).
Menurutnya, setiap akhir tahun Pertamina melakukan pembatasan distribusi dengan alasan evaluasi kuota dan penataan alokasi untuk tahun berikutnya. Namun, di balik formal ini ada tekanan ekonomi yang mendorong pengelola SPBU di Bojonegoro menahan pasokan.
Kalau stok BBM bersubsidi tidak habis di akhir tahun, bisa dikategorikan sebagai stok industri yang harganya jauh lebih mahal. Karena itu, banyak pengelola SPBU di Bojonegoro sengaja menekan order agar stok bersubsidi habis di pembukuan,” jelasnya.
Masyarakat kecil selalu mengantre berjam-jam demi mendapatkan solar bersubsidi. Namun penggunaan solar untuk alat berat proyek infrastruktur justru meningkat tajam.
Akhir tahun masa puncak pengerjaan proyek di berbagai daerah yang membutuhkan solar dalam jumlah besar. Tapi BBM bersubsidi yang seharusnya untuk rakyat kecil, malah terserap untuk kepentingan proyek besar.
Pemantauan lapangan media ini terindikasi di beberapa SPBU Bojonegoro yang kuotanya habis selalu dijaga aparat penegak hukum (APH). Karena titik rawan penyaluran solar bersubsidi ke sektor non publik.
SPBU tertentu ini sudah lama jadi ‘sumur minyak’ bagi pelaku permainan solar proyek. Solar bersubsidi disedot diam-diam, kemudian dijual kembali dengan harga non-subsidi ke pelaksana proyek konstruksi,” ungkap sumber tersebut.
Akhirnya, masyarakat kembali menjadi korban permainan kuota dan manipulasi pasar yang terus berulang tanpa evaluasi serius dari pemerintah daerah maupun pemerintah pusat.
Fenomena kelangkaan BBM bersubsidi pun kian menyerupai ritual tahunan negeri kaya energi, di mana rakyat harus rela mengantre panjang hanya untuk mendapatkan BBM subsidi. Sementara di sisi lain proyek besar tetap berjalan mulus tanpa hambatan pasokan.(Tim/LA).



