Catatan Investigasi
Bojonegoro, Lingkaralam.com — Macetnya respons Pemerintah Kabupaten Bojonegoro terhadap dugaan operasional pabrik batching plant tanpa izin lengkap di Desa Sumengko, Kecamatan Kalitidu, kian memantik sorotan publik.
Setelah hampir dua bulan tanpa langkah penindakan yang jelas, perhatian masyarakat bergeser ke fungsi pengawasan DPRD, peran Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP), serta keseriusan aparat penegak hukum dalam menegakkan aturan.
Hingga saat ini, belum terlihat progres penindakan apa pun dari dinas teknis yang berwenang, yakni Dinas Penanaman Modal dan Pelayanan Terpadu Satu Pintu (DPMPTSP), Satuan Polisi Pamong Praja (Satpol PP), maupun Dinas Lingkungan Hidup (DLH).
Tidak hanya minim tindakan, ketiga instansi tersebut juga tidak menyampaikan satu pun pernyataan resmi kepada publik terkait status perizinan maupun langkah pengawasan yang telah atau akan dilakukan. Bahkan, hingga kini, tidak ada sedikit pun indikasi penindakan administratif dari dinas berwenang.
Kondisi ini dinilai memperkuat kesan stagnasi penanganan dan memunculkan pertanyaan serius mengenai efektivitas fungsi pengawasan serta komitmen penegakan regulasi di tingkat daerah. Padahal, dalam kerangka hukum administrasi pemerintahan, setiap dugaan pelanggaran perizinan semestinya segera direspons, setidaknya melalui penghentian sementara operasional hingga seluruh persyaratan dipenuhi. Namun, langkah korektif tersebut belum juga terlihat.
Ketiadaan tindakan konkret dari perangkat daerah dinilai mencederai prinsip kepastian hukum. Publik menilai, ketika pemerintah eksekutif terkesan pasif, maka mekanisme checks and balances (pengawasan dan keseimbangan) seharusnya dijalankan secara optimal oleh lembaga pengawas agar persoalan tidak dibiarkan berlarut-larut dan keadilan tidak berhenti pada tataran wacana.
Dalam sistem pemerintahan daerah, DPRD Bojonegoro memegang mandat strategis untuk mengawasi pelaksanaan peraturan daerah, kebijakan kepala daerah, serta penggunaan anggaran publik.
Secara moral dan politik, DPRD memiliki kewenangan untuk memanggil pihak-pihak terkait, meminta klarifikasi resmi dari Organisasi Perangkat Daerah (OPD) teknis, hingga memastikan bahwa setiap aktivitas usaha, terutama yang berkorelasi dengan proyek pemerintah dapat berjalan sesuai dengan regulasi yang berlaku.
Sorotan publik juga mengarah pada APIP melalui Inspektorat Kabupaten Bojonegoro, yang memiliki mandat membantu Bupati dalam membina dan mengawasi penyelenggaraan urusan pemerintahan daerah.
Dalam konteks dugaan pembiaran operasional usaha tanpa izin, APIP diharapkan dapat melakukan audit kepatuhan serta pemeriksaan administratif, khususnya terkait proses perizinan, potensi kelalaian pengawasan, dan dampaknya terhadap pelaksanaan proyek yang bersumber dari APBD maupun dana bantuan pemerintah.
Dari sisi regulasi, usaha batching plant tergolong sebagai kegiatan usaha berisiko tinggi. Artinya, operasional tidak dapat hanya berbekal Nomor Induk Berusaha (NIB) atau Informasi Tata Ruang (ITR).
Berdasarkan sistem Perizinan Berusaha Berbasis Risiko, pelaku usaha wajib mengantongi izin yang telah diverifikasi secara penuh sebelum melakukan kegiatan operasional atau komersial. Tanpa pemenuhan tersebut, aktivitas usaha secara hukum tidak sah dan dilarang beroperasi.
Jika praktik usaha tanpa izin tetap berlangsung, regulasi membuka ruang penegakan hukum, mulai dari sanksi administratif hingga pidana, bergantung pada dampak dan unsur pelanggaran yang ditemukan.
Di titik inilah peran Satpol PP sebagai penegak Perda, serta aparat penegak hukum lainnya, menjadi krusial agar aturan tidak berhenti sebagai teks normatif semata.
Sejumlah pemerhati kebijakan publik mengingatkan bahwa lemahnya respons awal pemerintah daerah berpotensi menimbulkan efek domino. Selain membuka peluang kerugian fiskal daerah, pembiaran terhadap usaha tidak berizin dapat menciptakan preseden buruk dalam tata kelola pemerintahan, merusak iklim investasi yang sehat, serta menggerus kepercayaan publik terhadap institusi negara.
“Ketika pengawasan Pemkab, DPRD, dan penegakan hukum tidak berjalan optimal, yang dirugikan bukan hanya negara, tetapi juga pelaku usaha yang patuh dan masyarakat luas,” ujar seorang pemerhati kebijakan publik asal Bojonegoro, Senin (22/12/2025).
Di sisi lain, publik juga menaruh harapan besar kepada Bupati Bojonegoro untuk bersikap tegas dan memastikan penegakan hukum serta regulasi dijalankan secara konsisten dan tidak tebang pilih.
Sebagai pemegang kendali pemerintahan daerah, Bupati dinilai memiliki kewenangan strategis untuk menginstruksikan dinas terkait agar bertindak cepat, transparan, dan terukur.
Namun, hingga berita ini diterbitkan, belum tampak adanya progres tindak lanjut maupun pernyataan resmi dari kepala daerah terkait dugaan operasional pabrik batching plant tersebut.
Sebagai pembanding, publik mencatat bahwa DPRD dan Pemkab Bojonegoro sebelumnya melakukan gerak cepat dalam menangani persoalan PT Sata Tec Indonesia, pabrik pengolahan tembakau di Desa Sukowati, Kecamatan Kapas, yang belum mengantongi izin operasional lengkap.
Saat itu, DPRD beberapa kali menggelar rapat dengar pendapat (hearing) dengan manajemen perusahaan dan secara tegas meminta penghentian sementara operasional, lantaran izin yang dimiliki baru sebatas izin gudang dan belum melengkapi dokumen UKL/UPL.
Sikap tegas tersebut diperkuat pada Juni 2025, ketika Wakil Bupati Nurul Azizah turun langsung melakukan inspeksi mendadak dan menegaskan penghentian aktivitas pabrik hingga seluruh perizinan dipenuhi.
Konsistensi penegakan hukum inilah yang kini ditagih publik agar diterapkan secara setara terhadap setiap dugaan pelanggaran serupa di Kabupaten Bojonegoro.
*) Redaksi



