Sabtu, Desember 20, 2025
spot_img

Proyek Belum Rampung, Anggaran Dilaporkan Terserap 100 Persen

Bojonegoro, Lingkaralam.com — Sejumlah proyek fisik yang dibiayai anggaran negara dan daerah kembali menuai sorotan. Meski progres pekerjaan di lapangan belum rampung dan mutu belum diuji, laporan administrasi justru menunjukkan anggaran telah terserap seratus persen. Fakta ini memicu kekhawatiran serius terkait tata kelola keuangan negara dan integritas pengawasan proyek publik.

Temuan di lapangan menunjukkan pekerjaan masih tertinggal dari target, sementara pencairan anggaran telah dilakukan penuh. Kondisi tersebut dinilai mencerminkan praktik berulang yang hampir selalu muncul menjelang akhir tahun anggaran: progres fisik tertinggal, tetapi pencairan dipercepat berbasis dokumen.

Sejumlah pengamat menilai situasi ini tak lagi dapat disebut kelalaian teknis. Polanya dinilai sistematis, administrasi dikedepankan, sementara kondisi riil di lapangan dikesampingkan. Berita acara dan tanda tangan pejabat menjadi dasar pencairan, meskipun pekerjaan belum tuntas.

Dalam mekanisme pengelolaan keuangan negara, pembayaran seharusnya dilakukan berdasarkan prestasi kerja nyata. Namun praktik yang terjadi justru sebaliknya. Selama dokumen dinyatakan lengkap, dana dapat dicairkan penuh tanpa mempertimbangkan progres fisik secara faktual.

“Ini menjungkirbalikkan logika keuangan negara. Progres dokumen mengalahkan progres pekerjaan,” ujar salah satu sumber yang enggan disebutkan namanya, Jumat (20/12/2025).

Praktik pembayaran atas pekerjaan yang belum selesai dinilai melanggar sejumlah regulasi. Undang-Undang Keuangan Negara menegaskan pengelolaan keuangan harus tertib, taat hukum, dan bertanggung jawab. Undang-Undang Perbendaharaan Negara mensyaratkan setiap pengeluaran didukung bukti sah yang mencerminkan kondisi riil.

Selain itu, Peraturan Presiden tentang Pengadaan Barang dan Jasa secara tegas menyebutkan pembayaran dilakukan berdasarkan prestasi pekerjaan. Secara kontraktual, pembayaran penuh tanpa dasar progres fisik nyata berpotensi menimbulkan wanprestasi yang justru difasilitasi oleh aparatur negara.

Dari perspektif pidana, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi menegaskan bahwa penyalahgunaan kewenangan yang merugikan keuangan negara tetap dapat dipidana, meskipun dilakukan dengan berlindung di balik prosedur administrasi.

Dalih “menunggu hasil audit” kerap digunakan untuk menunda penindakan. Padahal, menurut sejumlah ahli hukum, potensi kerugian negara timbul saat uang dicairkan, bukan setelah audit selesai. Audit dipandang sebagai alat pembuktian, bukan syarat terjadinya tindak pidana.

Sorotan publik kini tak hanya tertuju pada kontraktor atau pejabat teknis, tetapi juga pada aparat penegak hukum. Ketika praktik serupa berulang dari tahun ke tahun tanpa penyelidikan berarti, publik menilai adanya pembiaran sistematis.

“Penyelidikan bisa dimulai dari hal sederhana: mencocokkan progres fisik, waktu pencairan anggaran, isi berita acara, serta pihak yang menandatangani dokumen,” kata sumber tersebut.

Hingga berita ini ditayangkan, belum ada keterangan resmi dari aparat penegak hukum terkait langkah penyelidikan atas praktik pencairan anggaran pada proyek yang belum selesai tersebut.

Publik kini menanti sikap tegas aparat. Sebab, serapan anggaran bukanlah prestasi jika dibangun di atas laporan yang tidak sesuai kenyataan. Jika hukum memilih diam, kepercayaan publik dan wibawa negara menjadi taruhannya.

Baca juga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Terkini

error: Konten diproteksi!