Kamis, Desember 4, 2025
spot_img

Ketua PKDI Tuban, Suhadi, dan Bayang-Bayang Pembelaan yang Mengguncang Sunyi Desa

Tuban, Lingkaralam.com – Di tanah yang subur oleh cerita dan percakapan lirih antar warga, sebuah kisah tentang kuasa, keberpihakan, dan suara yang tersisih kembali menggema. Bukan melalui rapat resmi atau pembacaan sumpah jabatan, melainkan melalui ujaran yang terlontar dari seorang pemimpin desa atau pemegang mandat yang mestinya menjadi teduh bagi warganya.

Suhadi, Ketua PKDI Tuban sekaligus Kepala Desa Sumberejo, kini menjadi poros perbincangan. Bukan karena keberhasilan membangun desa, tetapi pembelaan terhadap seorang oknum polisi dalam kasus salah tangkap sebuah perkara yang telah menjalar dari ruang kecil interogasi hingga ke ruang luas dunia maya. Pada hari ketika kabar itu mengudara, percakapan publik berubah menjadi riuh yang tak bisa lagi ditarik kembali.

Di tengah pusaran itu, Ahmad, seorang anggota LSM GMAS, muncul sebagai saksi ucapan yang menggetarkan. Ia mengulang kembali kata-kata Suhadi, yang terasa seperti sebilah pisau yang menggores permukaan kehormatan seorang kepala desa lain.

Kepala Desa Kenduruan itu ngawur. Kalau memang begitu, biar nanti tak pulosorone,” begitu katanya. Ucapan yang meluncur begitu saja, tanpa jeda untuk bertanya pada hati. Adakah yang lebih pantas dari ancaman bagi sesama pemimpin desa?

Ketika Suhadi dikonfirmasi, suaranya tak meledak. Lembut tetapi penuh pembenaran. Ia mengatakan dirinya hanya membawa nama organisasi (PKDI) yang menurutnya perlu menjaga hubungan baik dengan Polres. Kami adalah mitra. Suatu saat kami juga butuh Polres,” ujarnya.

Sebuah alasan yang tampak sederhana, tetapi mengandung gejolak panjang. Apakah benar, demi menjaga hubungan, seorang pemimpin harus merelakan keadilan berjalan tanpa tongkatnya?

Namun badai itu belum benar-benar diam sebelum Parwandi, Kepala Desa Kenduruan, angkat bicara. Perkataannya seperti gema yang memantul di rumah-rumah warga. Salah saya apa kok sampai mau di-pulosoro? Saya datang ke Polres untuk memenuhi panggilan Propam. Warga saya menjadi korban, dan saya hanya ingin mencari kejelasan.

Dalam kalimat singkat itu, hadir keteguhan seorang pemimpin desa yang tidak memiliki tameng organisasi besar di belakangnya. Ia datang dengan waktu yang sempat tertunda karena ada kematian warga yang harus ia datangi, memenuhi panggilan Propam adalah bentuk tanggung jawab, bukan sekadar formalitas.

Kisah ini bukan semata tentang salah tangkap. Bukan pula tentang hubungan antara desa dan kepolisian. Ini adalah kisah tentang kata-kata yang bisa menciptakan luka, atau seharusnya, membangun perlindungan.Tentang jabatan yang bisa menjadi payung, tetapi kadang berubah menjadi bayangan gelap yang menutup pandangan. Pemimpin seharusnya berdiri di sisi yang tertindas, bukan berlindung di balik bahu kekuasaan lain.

Dan pada akhirnya, warga desa hanya berharap satu hal sederhana. Bahwa keadilan tidak lahir dari keberpihakan, tetapi dari keberanian mengatakan yang benar, meskipun harus melewati suara-suara yang ingin membungkam.

Hingga berita ini ditulis, kasus ini masih menunggu babak berikutnya. Tetapi satu hal telah jelas. Bahwa di balik percakapan yang tampak sepele, sering tersembunyi arus besar yang bisa menggoyang akar-akar kepercayaan dalam masyarakat.

Di Tuban, sebuah cerita baru sedang ditulis. Dengan tinta publik. Dengan suara yang tak ingin dibungkam lagi.(Redaksi).

Baca juga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Terkini

error: Konten diproteksi!