Tuban, Lingkaralam.com — Sejumlah kontraktor pelaksana proyek di Kabupaten Tuban mulai angkat suara terkait polemik dugaan penggunaan material buis beton non-Standar Nasional Indonesia (SNI) dalam pekerjaan infrastruktur. Mereka mengaku resah karena kekhawatiran terhadap potensi masalah hukum di kemudian hari.
Keresahan ini menimpa pelaksana yang telah mengerjakan maupun akan mengerjakan proyek dengan material buis beton.
Para rekanan menyebut, sempat muncul wacana perubahan kontrak atau Contract Change Order (CCO) akibat temuan material yang diduga tidak sesuai spesifikasi. Namun, wacana tersebut justru menimbulkan polemik baru di kalangan pelaksana proyek.
“Kami keberatan kalau sampai ada CCO, karena waktunya sudah sangat mepet. Proyek harus selesai akhir tahun, dan perubahan kontrak akan mengacaukan jadwal. Di sisi lain, kami juga takut kalau nanti material yang kami pasang justru dipersoalkan hukum,” ujar salah satu kontraktor pelaksana, Kamis (13/11/2025).
Menurut para kontraktor, harga buis beton dalam Rencana Anggaran Biaya (RAB) proyek juga sudah tergolong sangat rendah. Kondisi itu membuat pelaksana sulit mencari produk bersertifikat SNI dengan harga sesuai ketentuan.
“Sudah harganya rendah, ditambah lagi isu material bermasalah. Kami di lapangan jadi serba salah,” tambahnya.
Kebijakan Tak Tegas Dinas Dinilai Timbulkan Ketidakpastian
Para pelaksana proyek menilai, tidak adanya sikap tegas dari dinas terkait justru memperburuk situasi. Mereka berharap Dinas Pekerjaan Umum dan Penataan Ruang (PUPR) Kabupaten Tuban segera memberikan kepastian terkait legalitas produk dan arah kebijakan penggunaan material.
“Kalau dari awal ada arahan resmi soal material yang boleh digunakan, tentu kami patuh. Tapi kalau sekarang baru muncul wacana CCO dan tidak ada kepastian, ini yang membuat kami bingung dan khawatir,” keluh salah satu rekanan.
Wacana CCO yang tiba-tiba muncul dinilai juga tidak proporsional, karena menambah beban administrasi dan risiko keterlambatan penyelesaian pekerjaan.
Masyarakat : Pemerintah Daerah Harus Bertanggung Jawab
Akademisi dan juga salah seorang pemerhati konstruksi asal Tuban menilai keresahan kontraktor merupakan bukti nyata lemahnya tata kelola proyek di tingkat dinas.
“Ketika muncul wacana CCO karena dugaan pelanggaran teknis, itu artinya ada ketidaksiapan dari pihak pemerintah sebagai pemilik pekerjaan. Pelaksana di lapangan hanya menjalankan arahan, maka tanggung jawab utama tetap di pemda,” kata ia yang juga berprofesi sebagai dosen ini.
Ia menambahkan, pemerintah daerah harus segera bersikap terbuka dan memastikan semua pihak tidak dirugikan akibat kesalahan administrasi atau penyalahgunaan wewenang oknum.
“Jangan sampai kontraktor dijadikan tameng atas praktik yang mungkin terjadi di tingkat perencanaan,” ujarnya.
Desakan Publik dan APH Makin Kuat
Seiring mencuatnya keresahan rekanan, publik semakin mendesak Aparat Penegak Hukum (APH) untuk melakukan langkah cepat. Dugaan manipulasi label SNI dan penyalahgunaan jabatan dinilai telah cukup kuat untuk dijadikan dasar penyelidikan awal.
“Diamnya Pemkab Tuban dan Dinas PU bukan alasan. Ini sudah jadi isu publik. Penegak hukum perlu memastikan ada atau tidak unsur kesengajaan dalam peredaran material berlabel palsu,” tambah ia.
Ketidakpastian yang Mengancam Integritas Proyek
Hingga kini, belum ada klarifikasi resmi dari Pemkab Tuban maupun Dinas PU atas munculnya wacana CCO dan dugaan pelanggaran label SNI.
Situasi ini membuat pelaksana proyek berada di posisi sulit, antara harus menyelesaikan pekerjaan tepat waktu dan menghindari risiko hukum di masa depan.
“Kalau semua dibiarkan tanpa kepastian, ini bukan sekadar masalah teknis, tapi sudah jadi masalah integritas tata kelola proyek di daerah,” tutupnya.
Sebelumnya LSM Ngulik Sura Tata Nusantara mengungkap dugaan pelanggaran serius dalam penggunaan label Standar Nasional Indonesia (SNI) pada sejumlah proyek infrastruktur di Kabupaten Tuban.
Berdasarkan hasil pemantauan, ditemukan adanya produk buis beton dan beberapa produk pabrikan lain yang tidak tercatat dalam Global Inspeksi Sertifikat (GIS), bahkan sebagian menggunakan sertifikat kedaluwarsa.
Ketua LSM, M. Setyo, menyebut praktik tersebut diduga berlangsung sejak 2020 hingga 2024, menunjukkan lemahnya pengawasan internal Pemkab Tuban. Sebagai langkah lanjut, LSM berencana melaporkan temuan ini ke Kejaksaan Agung dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Oleh M. Zainuddin



