Jumat, Oktober 31, 2025
spot_img

Anterian Kendaraan Perusahaan Skala Industri, Turut Antri Berburu Solar Subsidi Di SPBU Leran. Jadi Perbincangan

Bojonegoro, Lingkaralam.com –  Penetapan kuota bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi tahun 2025 oleh Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas) kembali menuai sorotan publik.

Melalui Surat Keputusan Kepala BPH Migas Nomor 66/P3JBT/BPH MIGAS/KOM/2024, pemerintah menetapkan kuota Pertalite sebesar 31,1 juta kiloliter (kL) dan Biosolar sebesar 17,3 juta kL untuk kebutuhan nasional. Namun hingga kini, tidak ada penjelasan resmi mengenai pembagian kuota per provinsi, kabupaten, maupun SPBU penyalur.

Minimnya transparansi ini memicu dugaan adanya ketidakteraturan dalam pendistribusian, terlebih ketika di lapangan terjadi antrean panjang kendaraan di sejumlah SPBU, termasuk di SPBU Leran, Kecamatan Kalitidu, Kabupaten Bojonegoro.

Seperti dikabarkan sebelumnya, puluhan kendaraan truk dan tangki, sebagian besar diduga milik PT Artha Surya Jaya, perusahaan ekspedisi besarh yang sempat telibat anterian panjang di jalur pengisian Biosolar, BBM bersubsidi yang seharusnya diperuntukkan bagi sektor produktif rakyat kecil, bukan industri besar.

Padahal, dalam keputusan BPH Migas tersebut tidak disebutkan adanya pengurangan kuota BBM nonsubsidi, seperti Pertamina Dex (solar industri).

Secara logika, pasokan solar industri tetap normal, mengapa kendaraan industri berburu Biosolar bersubsidi?

Pertanyaan ini menimbulkan dugaan serius adanya penyalahgunaan distribusi BBM, atau bahkan kongkalikong antara pengelola SPBU dengan pembeli kelas industri.

SPBU Leran diketahui memiliki empat pompa aktif untuk empat jenis BBM, Pertalite, Pertamax, Pertamina Dex, dan Biosolar. Secara perhitungan, pasokan seharusnya seimbang dengan kapasitas yang telah disesuaikan oleh Pertamina. Namun faktanya, stok BBM di lapangan kerap menipis, bahkan beberapa jenis sering kosong.

Menurut pengamat energi dan transportasi, lemahnya pengawasan distribusi membuat celah penyimpangan semakin terbuka lebar, terlebih tanpa keterbukaan data kuota per daerah dan SPBU.

‘Tanpa publikasi data kuota, masyarakat tidak bisa mengawasi apakah distribusi BBM bersubsidi benar-benar tepat sasaran atau justru mengalir ke pihak yang tidak berhak,” ujarnya.

Situasi ini menimbulkan kesan bahwa pemerintah daerah dan aparat pengawas seolah menutup mata, padahal dampaknya langsung dirasakan masyarakat, kelangkaan, antrean panjang, dan potensi kenaikan harga akibat kelangkaan buatan.

Jika hal ini terus dibiarkan, maka yang terjadi bukan lagi sekadar kekurangan stok sesaat, melainkan penyalahgunaan sistemik distribusi BBM bersubsidi, di mana kuota untuk rakyat kecil justru mengalir ke tangan industri besar.(Red).

Baca juga

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini

- Advertisement -spot_img

Terkini

error: Konten diproteksi!